Jumlah rakaat shalat tarawih



Bismillahirrahmaanirrahiim ..
Bulan ramadhan merupakan bulan yang mulia sehingga sangat pantas bila kita merindukan bulan Ramadhan. Salah satu alasan kenapa bulan Ramadhan begitu mulia adalah karena didalamnya terdapat satu malam dimana malam tersebut lebih baik daripada 1000 bulan yang kita kenal dengan lailatul qadr.

Biasanya orang berlomba-lomba untuk melakukan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan baik itu berupa menghafal ayat Al-Qur’an ataupun menghatamkannya, adapula yang giat untuk terus dzikir di malam bulan Ramadhan dan yang sudah kita ketahui bersama bahwa di setiap malam bulan Ramadhan diwilayah kita akan melakukan shalat tarawih bersama setelah shalat isya.

Nah pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai jumlah rakaat didalam shalat tarawih. Kenapa sih kita harus bahas ini ? Dikarenakan akhir-akhir ini mulai semakin banyak golongan-golongan yang membid’ahkan amalan atau apapun yang tidak sesuai dengan ideology mereka termasuk sholat tarawih.

Mengenai sholat tarawih sendiri terapat perbedaan penapat dari kalangan ulama sehingga ada yang melakukan shalat tarawih 20 rakaat, 36 rakaat, bahkan ada yang hanya 8 rakaat. Hal inilah yang memotivasi kami untuk menuntaskan masalah furu’ seperti diatas engan dalil tentunya sehingga tidak ada lagi diantara kita yang saling membid’ahkan satu sama lain.

Dalil shalat tarawih 20 rakaat :


1. Hadis mauquf.
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ…

Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).

Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.

Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi.

2. Ijma` para shahabat Nabi.

Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?

Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.
Imam Ibnu Taimiyah pun dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”
Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.

Dalil shalat tarawih 8 rakaat :

Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Hal ini yang membuat kami merasa penting untuk menjelasakan terkai jumlah rakaat shalat tarawih.

Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka`ab :
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).

Hadits ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).

2. Hadis Jabir :

حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” (HR. Thabarani).
Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.

3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” (Muttafaq `alaih).
Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :

1. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.

dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda. Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadis ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

2. Kesalahan dalam memahami maksud hadis.

Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.
عن عائشة – رضي الله عنها – : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).

3. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.” Apabila di selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?

4. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.
Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan saja.

5. Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi.

Pemenggalan hadis seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis disebutkan :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Dalam hadis yang lain disebutkan :
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).
Dalam hadis yang lain juga disebutkan :
إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).

6. Kerancuan linguistik.
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.



Fatwa Ulama

1. Fatwa Syaikh Jalaluddin al-Suyuthi

(al-Hawi lil Fatawa II/13. Tema: al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih)
Segala puji bagi Allah. Semoga kedamaian selalu dilimpahkan kepada para hamba pilihan-Nya. Wa ba’du:
Saya telah ditanya berkali-kali tentang apakah Nabi Muhammad Saw melakukan salat tarawih sebanyak 20 rakaat seperti yang ada saat ini? Saya akan menjawab dengan penuh kemantapan dalam masalah ini.
Menurut pendapat saya (al-Suyuthi), yang pertama, hadis-hadis yang bernilai sahih, hasan atau dlaif kesemuanya menganjurkan untuk melakukan ibadah di malam bulan Ramadlan tanpa menyebut bilangan rakaatnya. Tidak ada penjelasan dari hadis sahih yang menyatakan Rasulullah Saw salat sebanyak 20 rakaat, beliau hanya salat beberapa malam saja tanpa menyebut bilangan rakaatnya, kemudian pada malam yang keempat beliau tidak datang ke masjid karena khawatir salat tersebut dianggap wajib, sehingga mereka tidak mampu melaksanakannya.
Sebagian ulama ada yang menggunakan sebuah hadis sebagai penguat bilangan tarawih 20 rakaat, sementara hadis tersebut tidak layak untuk dijadikan dalil. Hadis tersebut akan saya tampilkan dan saya jelaskan kedlaifannya. Hadis tersebut adalah:

رَوَى ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي مُصَنَّفِهِ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيْدُ أَنْبَأَنَا أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُثْمَانَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.

“Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw salat di bulan Ramadlan sebanyak 20 rakaat, dan (ditambah) salat witir.”
(Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya (No. Hadis 7692), juga oleh Abd bin Hamid dalam musnadnya (No. Hadis 653), juga oleh al-Baghawi dalam kitab al-Mu’jamnya, juga oleh al-Thabrani.[1] (al-Mu’jam al-Kabir No. Hadis 11934 dan al-Ausath No. Hadis 5440), kesemuanya dari jalur Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman).

Saya (al-Suyuthi) berpendapat bahwa hadis ini sangat lemah dan tidak dapat dijadikan dalil. Al-Dzahabi berkata dalam kitab Mizan al-I’tidal: Ibrahim bin Utsman dinilai dusta oleh Syu’bah, Yahya bin Ma’in menilainya: Dia bukan orang yang bisa dipercaya, Ahmad bin Hanbal menilainya sebagai perawi yang dlaif, Imam Bukhari berkata: Ulama mendiamkannya, al-Nasa’i berkata: Dia hadisnya ditinggalkan. Al-Dzahabi dan al-Muzani menilai sebuah hadis dari Ibrahim bin Utsman yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah Saw melakukan salat 20 rakaat di luar jamaah’ sebagai hadis munkar. Oleh karena itu, jika seorang perawi sudah disepakati penilaiannya sebagai perawi dlaif oleh para ulama, maka perawi tadi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Yang kedua, telah termaktub dalam sahih al-Bukhari bahwa Aisyah ditanya mengenai ibadah malam yang dilakukan oleh Rasulullah selama Ramadlan, Aisyah menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Nabi Saw tidak pernah menambah dari bilangan 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau bulan lainnya’ (HR al-Bukhari No. Hadis 2013 dan 3569).[2]

Yang ketiga, telah termaktub pula dalam kitab sahih al-Bukhari dari Umar bin Khattab, beliau berkata: ‘Salat Tarawih ini adalah sebaik-baiknya bid’ah, dan salat yang dilakukan setelah tidur hukumnya lebih utama.’ (HR al-Bukhari No. Hadis 2010).

Sayidina Umar menyebut salat Tarawih ini dengan ‘bid’ah’ dikarenakan tata cara salat Tarawih secara berjamaah di masjid dengan satu imam tidak dilakukan di masa Rasulullah Saw. Para ulama termasuk Imam Syafi’i dan ‘Izzuddin bin Abd al-Salam membagi bid’ah menjadi 5 macam, yaitu bid’ah wajib, haram, mubah, sunah dan makruh, sedangkan salat tarawih tersebut masuk kategori bi’dah yang sunah.

Dalam kitab Manaqib al-Syafi’i (biografi Imam Syafi’i), al-Baihaqi berkata: Sesuatu yang baru ada dua macam. Pertama, sesuatu tersebut bertentangan dengan al-Quran, al-Hadis, atsar sahabat, atau ijma’ (konsensus) ulama, inilah yang disebut bid’ah yang menyesatkan.  Kedua, sesuatu yang baru namun memiliki nilai kebaikan, ini adalah bid’ah yang tidak tercela. Oleh sebab itu, Sayidina Umar menyebut salat Tarawih sebagai bid’ah.

Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya (No. Hadis 4801) dengan sanad yang sahih bahwa:
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ
فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً
 ‘Diriwayatkan dari Saib bin Yazid (seorang sahabat Rasul), ia berkata bahwa umat Islam di masa Umar bim Khattab melaksanakan ibadah malam di bulan Ramadlan sebanyak 20 rakaat’.[3]

      Yang keempat, para ulama berbeda pendapat mengenai bilangan rakaat salat Tarawih. Seandainya bilangan rakaat Tarawih telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, maka tidak akan terjadi perbedaan pendapat sebagaimana Nabi Saw. menjelaskan bilangan rakaat salat witir, salat sunah Rawatib dan sebagainya. Menurut riwayat Aswad bin Yazid jumlah rakaat Tarawih adalah 40 rakaat. Sementara menurut Imam Malik jumlah Tarawih adalah 36 rakaat selain salat witir. Hal ini didasarkan pada riwayat Nafi’:

أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يَقُوْمُوْنَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِيْنَ رَكْعَةً يُوْتِرُوْنَ مِنْهَا بِثَلَاثٍ.

Saya menjumpai umat Islam melakukan ibadah malam di bulan Ramadlan sebanyak 39 rakaat, dan yang 3 rakaat adalah salat witir.’

      Yang kelima, disunahkan bagi penduduk Madinah untuk melakukan salat Tarawih sebanyak 36 rakaat, untuk menyamai pahala penduduk Makkah. Bagi umat Islam yang melakukan Tarawih di Makkah, mereka bisa melakukan Tawaf setiap selesai 2 kali salam sekaligus dapat melakukan salat sunah Tawaf 2 rakaat. Kemudian umat Islam yang berada di Madinah ingin mendapatkan pahala yang sama dengan yang ada di Makkah, maka mereka mengganti posisi setiap Tawaf dengan 4 rakaat salat (sehingga mereka menambah 16 rakaat, yang secara keseluruhan menjadi 36 rakaat). Dan seandainya bilangan salat Tarawih ditentukan dalam sebuah hadis, maka sudah pasti penduduk Madinah tidak akan menambah rakaat Tarawih menjadi 36 rakaat. Padahal masyarakat di Madinah saat itu adalah orang-orang menjauhkan diri dari hal-hal yang terlarang (wira’i).[4]

      Siapapun yang telah menelaah kitab-kitab madzhab, khususnya kitab Syarh al-Muhadzdzab[5] (al-Majmu’ karya Imam al-Nawawi), menganalisa alasan-alasan yang terdapat dalam salat Tarawih, seperti tentang bacaannya, waktu pelaksanaannya, dan kesunahan melakukan Tarawih secara berjamaah, maka ia akan memperoleh ilmu yang mantap bahwa seandainya ada sebuah hadis marfu’ tentang Tarawih tentu akan dipakai sebagai dalil Tarawih. Inilah jawaban saya mengenai salat Tarawih, Wallahu A’lam.

Fatwa Ulama al-Azhar Kairo, Mesir
(Juz I hal. 48. Fatwa dikeluarkan pada 8 September 1955)
Mufti: Syaikh Hasan Ma’mun

Sebagaimana termaktub dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, Aisyah berkata:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Nabi Saw tidak pernah menambah dari bilangan 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau bulan lainnya’[6]

      Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa “Rasulullah Saw salat di bulan Ramadlan sebanyak 20 rakaat selain salat witir” adalah hadis dlaif. Adapun penetapan 20 rakaat salat Tarawih adalah berdasarkan konsensus para sahabat di masa Sayidina Umar. Sementara alasan yang dikemukakan bahwa tidak ada dalil sahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan salat Tarawih 20 rakaat, tidak bisa dijadikan sebagai penghalang untuk meniadakan hukum sunah melakukan Tarawih 20 rakaat. Sebab Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk mengikuti Khulafa’ al-Rasyidin, sebagaimana dalam sabdanya:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِىْ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Berpeganglah dengan sunahku dan sunah Khulafa al-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk setelahku, berpeganglah dengan sangat erat’

(HR Turmudzi No. 2891, Abu Daud No. 4609, Ibnu Majah No. 44, dan Ahmad No. 17608 dari ‘Irbadl bin Sariyah)

Rasulullah Saw juga bersabda:

سَتُحْدَثُ بَعْدِىْ أَشْيَاءُ فَأَحَبُّهَا إِلَىَّ أَنْ تَلْزَمُوْا مَا أَحْدَثَ عُمَرُ
Akan ada banyak hal-hal yang baru sesudahku, dan yang paling saya senangi untuk kalian ikuti adalah hal-hal baru yang dilakukan oleh Umar’
(HR. Abu Nuaim dalam kitab Ma’rifah al-Shahabah No. 4968 dan Ibnu ‘Asakir, 44/280 dari ‘Arzab al-Kindy)

      Diriwayatkan dari Abu Yusuf (santri Abu Hanifah): “Saya bertanya kepada Abu Hanifah tentang salat Tarawih dan yang dilakukan oleh Umar. Abu Hanifah menjawab: Tarawih hukumnya adalah sunah muakkad. Umar tidaklah melakukannya berdasarkan inisiatifnya sendiri, dia tidak melakukan perbuatan bid’ah dalam salat Tarawih ini. Umar tidak akan memberi perintah (kepada Ubay bin Ka’b untuk menjadi imam salat Tarawih 20 rakaat) kecuali berdasarkan sebuah dalil yang dia ketahui dari Rasulullah Saw.”

      Selama kita diperintah untuk mengikuti hal-hal baru yang diperbuat oleh para khalifah, khususnya Sayidina Umar, maka salat Tarawih 20 rakaat hukumnya adalah sunah. Dalam hal ini seolah yang memberi perintah adalah Rasulullah, bahkan menurut ulama Ushul Fiqih yang disebut dengan ‘sunah’ adalah setiap hal yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, atau salah seorang dari sahabat Rasulullah. Sebab Ijma (konsensus) ulama merupakan bagian dari dalil agama yang harus dipegang.


     Kesimpulannya, Tarawih 20 rakaat adalah sunah Rasulullah Saw.[7] Siapa yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat adalah sunah perbuatan Umar, maka pendapat ini ditolak dengan argument di atas. Sebagaimana yang termaktub dalam Fatawa al-Hindiyah, bahwa Tarawih 20 rakaat adalah sunah Rasulullah Saw. Ada juga yang mengatakan sebagai sunah Umar. Dan yang kuat adalah pendapat yang pertama. Ini adalah kesimpulan yang dikutip dari mayoritas ulama Hanafiyah.
Hal yang wajib dipahami bahwa salat Tarawih tidak wajib, agama adalah mudah dan Allah tidak memberikan beban kepada makhluknya kecuali memberikan keleluasaan. ‘Kemudahan’ dari syariat menuntut kepada umat Islam untuk tidak terjerumus ke dalam perselisihan yang mengarah pada sikap merasa ‘paling benar’ dan perilaku keras yang meningkat ke arah keyakinan dan iman. Dengan demikian siapapun yang mampu melakukan salat Tarawih 20 rakaat maka dia telah melakukan hal yang sempurna dan telah melakukan ibadah dengan mendapatkan pahala yang sempurna. Barangsiapa yang tidak mampu melakukan 20 rakaat maka dia boleh melakukan salat Tarawih sesuai kesanggupannya, ia juga akan mendapatkan pahala tetapi tidak secara sempurna, namun orang tersebut tidak menginggalkan hal-hal yang wajib dalam agama.
Dan disunahkan untuk duduk sejenak setiap selesai 4 rakaat, begitu pula antara Tarawih dan Witir. Inilah tatacara yang telah dilakukan oleh ulama salaf sebagaimana salat yang dilaksanakan oleh Ubay bin Ka’b. diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa kata ‘Tarawih’ diambil dari kata istirahat yang dilakukan di sela-sela antara 4 rakaat Tarawih. Hal yang disunahkan adalah berdiam diri diantara sela-sela rakaat salat, dan tidak ada riwayat dari ulama salaf tentang apa saja yang dibaca di waktu senggang tersebut. Umat Islam di masing-masing negaranya memilih bacaan yang sesuai dengan ‘tradisi’ mereka, ada yang membaca al-Quran, tasbih, salat 4 rakaat sendiri-sendiri, tahlil, takbir, ada juga yang sekedar menunggu tanpa membaca sesuatu.

  

Fatwa Ibnu Taimiyah[8]
(Majmu’ al-Fatawa V/163, Fashl Salat al-Khauf)

وَأَمَّا قُنُوتُ الْوِتْرِ فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ : قِيلَ : لَا يُسْتَحَبُّ بِحَالِ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَنَتَ فِي الْوِتْرِ . وَقِيلَ : بَلْ يُسْتَحَبُّ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ كَمَا يُنْقَلُ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَغَيْرِهِ ؛ وَلِأَنَّ فِي السُّنَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - دُعَاءً يَدْعُو بِهِ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ وَقِيلَ : بَلْ يَقْنُتُ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ مِنْ رَمَضَانَ . كَمَا كَانَ أبي بْنُ كَعْبٍ يَفْعَلُ . وَحَقِيقَةُ الْأَمْرِ أَنَّ قُنُوتَ الْوِتْرِ مِنْ جِنْسِ الدُّعَاءِ السَّائِغِ فِي الصَّلَاةِ مَنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . كَمَا يُخَيَّرُ الرَّجُلُ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثِ أَوْ خَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَكَمَا يُخَيَّرُ إذَا أَوْتَرَ بِثَلَاثِ إنْ شَاءَ فَصَلَ وَإِنْ شَاءَ وَصَلَ . وَكَذَلِكَ يُخَيَّرُ فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ إنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ وَإِذَا صَلَّى بِهِمْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَإِنْ قَنَتَ فِي جَمِيعِ الشَّهْرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ قَنَتَ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ بِحَالِ فَقَدْ أَحْسَنَ . كَمَا أَنَّ نَفْسَ قِيَامِ رَمَضَانَ لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أبي بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ثُمَّ يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا زَادَ مِنْ الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ قَامُوا بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ . وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ السَّعَةُ فِي نَفْسِ عَدَدِ الْقِيَامِ فَكَيْفَ الظَّنُّ بِزِيَادَةِ الْقِيَامِ لِأَجْلِ دُعَاءِ الْقُنُوتِ أَوْ تَرْكِهِ كُلُّ ذَلِكَ سَائِغٌ حَسَنٌ . وَقَدْ يَنْشَطُ الرَّجُلُ فَيَكُونُ الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِ تَطْوِيلَ الْعِبَادَةِ وَقَدْ لَا يَنْشَطُ فَيَكُونُ الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِ تَخْفِيفَهَا . وَكَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَدِلَةً . إذَا أَطَالَ الْقِيَامَ أَطَالَ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ وَإِذَا خَفَّفَ الْقِيَامَ خَفَّفَ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ هَكَذَا كَانَ يَفْعَلُ فِي الْمَكْتُوبَاتِ وَقِيَامِ اللَّيْلِ وَصَلَاةِ الْكُسُوفِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .

Mengenai doa Qunut dalam salat witir, ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan hukumnya tidak sunah, karena tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw melakukan Qunut saat salat witir. Pendapat kedua mengatakan sunah melakukan Qunut dalam salat witir, sebagaimana yang dikutip dari sahabat Ibnu Mas’ud dan lainnya, juga dikarenakan Rasulullah Saw telah mengajarkan doa Qunut dalam salat witir kepada Hasan bin Ali, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan hadis. Pendapat ketiga mengatakan (disunahkan) Qunut saat separuh kedua dari bulan Ramadlan, sebagaimana dikutip dari Ubay bin Ka’b. Esensi permasalahannya, Qunut dalam salat witir tergolong sebuah doa yang boleh dilakukan dalam salat, siapa yang berkenan boleh melakukannya, dan yang tidak berkenan boleh meninggalkannya, sebagaimana seseorang diberi pilihan untuk melakukan salat witir sebanyak 3, 5, atau 7 rakaat, begitu pula diberi pilihan apakah ia memisah atau menyambung rakaat akhir dari salat witir dengan salam. Dengan demikian, ketika mereka melakukan salat malam di bulan Ramadlan kemudian mereka membaca doa Qunut satu bulan penuh, maka hal itu baik. Jika membaca doa Qunut sejak pertengahan bulan Ramadlan, maka hal itu juga baik. Begitu pula jika sama sekali tidak membaca doa Qunut.

Sebab, Rasulullah Saw tidak pernah menjelaskan bilangan tertentu dalam salat Qiyamu Ramadlan, hanya saja Rasulullah tidak pernah menambah dari 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau yang lain-, tetapi Rasulullah melakukannya dengan bilangan rakaat yang lama. Ketika Umar mengumpulkan umat Islam dengan menunjuk Ubay bin Ka’b sebagai imam mereka, maka ia melakukannya dengan 20 rakaat yang dilanjutkan dengan salat witir 3 rakaat. Dan ubay melaksanakannya tidak dengan memanjangkan bacaan salatnya, karena yang demikian lebih meringankan kepada makmum daripada memanjangkan 1 rakaat. Diantara segolongan ulama salaf ada yang melakukan Qiyamu Ramadlan sebanyak 40 rakaat, ditambah salat witir 3 rakaat. Ulama yang lain ada yang melakukannya sebanyak 36 rakaat, ditambah salat witir 3 rakaat.

Hal yang utama (dalam melakukan salat Qiyamu Ramadlan) adalah dengan mempertimbangkan para jamaah. Jika mereka sanggup berdiri lama, maka sebaiknya melakukan Qiyamu Ramadlan 10 rakaat sebagaimana yang dilakukan oleh Raulullah baik di bulan Ramadlan atau yang lainnya. Jika tidak mampu melakukannya, maka yang lebih utama adalah 20 rakaat, dan salat inilah yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam, karena 20 rakaat adalah bilangan yang tengah-tengah antara 20 dan 40. jika mereka melakukan 40 rakaat atau yang lain, maka hukumnya boleh dan sama sekali tidak makruh. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama seperti oleh Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Barangsiapa yang mengira bahwa salat Qiyamu Ramadlan meliliki bilangan tertentu dari Rasulullah Saw yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, maka itu adalah anggapan yang salah. Kalau dalam bilangan rakaatnya saja dapat ditolerir, maka bagaimana jika menambah bilangan rakaat untuk melakukan doa Qunut atau meninggalkannya, tentu kesemuanya itu hukumnya boleh dan baik. Terkadang seseorang memiliki semangat yang kuat, maka sebaiknya ia melakukan ibadah yang lama. Namun terkadang ia kurang semangatnya, maka yang utama baginya adalah ibadah yang ringan (tidak panjang). Rasulullah Saw melakukan ibadah salat secara ideal, yaitu ketika Rasul memanjangkan rakaatnya, maka rukuk dan sujudnya juga demikian. Dan ketika beliau meringankan rakaatnya, maka rukuk dan sujudnya juga tidak lama. Dengan cara inilah Rasulullah melakukan ibadah salat wajib lima waktu, salat malam, salat gerhana, dan sebagainya.”

Kesimpulan :
Dari apa yang sudah kita bahas diatas, dapat kita simpulkan bahwa Nabi SAW tidak memberi batasan terhaap jumlah rakaat pada shalat tarawih sehingga terjadi perbedaan ada yang 20 rakaat seperti yang dianjurkan oleh mayoritas ulama, ada yang 36 rakaat yang menjadi fatwa imam malik karena untuk menyamai pahala shalat tarawih di Makkah yang dapat diiringi dengan tawaf, dan ada pula yang hanya 8 rakaat.  Dari semua pemaparan diatas, kita tidak boleh saling menyalahkan ataupun membid’ahkan hanya kerena kita berbeda di dalam jumlah rakaat sholat Sunnah tarawih iaman ini hanya bagian dari furu’ (cabang). Semuanya kembali lagi pada niat masing-masing untuk beribadah kepada Allah dengan ketenangan bathin.

Wallahu a’lam


Daftar pustaka :



[1] Al-Hafidz al-Haitsami, ulama ahli hadis yang men-takhrij hadis-hadis riwayat al-Thabrani, menyatakan bahwa Abu Syaibah Ibrahim adalah seorang perawi yang dlaif, al-Haitsami tidak menilainya sebagai perawi yang sangat dlaif (Majma’ al-Zawaid, III/224). Penilaian yang sama juga disampaikan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, IV/254, Bab Qiyamu Ramadlan.
[2] Hadis ini, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian Ulama, tidak tepat jika dijadikan sebagai dalil salat Tarawih 11 rakaat. Sebab kelanjutan hadis ini berbunyi: Aisyah berkata: Apakah Engkau tidur terlebih dahulu sebelum melakukan salat Witir? Rasul Saw. menjawab: Dua mataku memang terpejam, tetapi hatiku tidak pernah tidur. Aisyah juga menyebutkan bahwa Rasulullah melakukannya masing-masing dengan 4 rakaat 1 kali salam dengan sangat lama. Perkataan Aisyah yang berbunyi ‘baik di bulan Ramadlan atau bulan lainnya’ mempertegas bahwa hadis ini bukan dalil salat Tarawih, karena salat Tarawih hanya ada di bulan Ramadlan. Bahkan al-Hafidz Ibnu Hajar menjadikan hadis ini sebagai dalil dari salat Witir dalam kitab Bulugh al-Maram No. Hadis 303. Berikut ini adalah teks hadisnya secara lengkap:
عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ « يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَىَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى »
[3] Imam Nawawi berkata dalam kitab al-Khulashah bahwa riwayat ini sanadnya adalah sahih (Al-Hafidz al-Zaila’i, Nashb al-Rayah fi Takhriji Ahadits al-Hidayah, III/228)
[4] Kota Madinah sebagai Dar al-Hijrah dan masyarakatnya adalah saksi dan pelaku utama dalam menjalankan syariat dari Rasulullah Saw serta tempat menetapnya para Khalifah. Oleh karenanya, Imam Malik selalu mengedepankan amaliyah ahli Madinah dalam memutuskan beberapa hukum madzhabnya, sebab amaliyah mereka dinilai sebagai riwayat mutawatir yang bersifat ‘pasti’, meskipun bertentangan dengan hadis sahih, sebab hadis sahih sebagiannya bersifat perorangan (Mawahib al-Jalil, IV/120).
[5] Imam al-Nawawi: Hukum salat Tarawih adalah sunah, berdasarkan ijma’ ulama. Dalam madzhab kami, Tarawih dilaksanakan sebanyak 20 rakaat, boleh dilakukan sendiri atau berjamaah. Ulama Syafi’iyah sepakat bahwa salat Tarawih secara berjamaah hukumnya lebih utama… Para ulama yang mengatakan Tarawih 20 rakaat adalah madzhab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Dawud dan sebagainya. Sementara al-Aswad bin Mazid melakukan Tarawih 40 rakaat dan witir 7 rakaat. Sedangkan madzhab Maliki sebanyak 36 rakaat dan witir 3 rakaat berdasarkan amaliyah penduduk Madinah (al-Majmu’ IV/32-33).
[6] Silahkan baca kembali footnote no. 2 dari Fatwa al-Suyuthi mengenai penggunaan dalil hadis tersebut
[7] Kesimpulan dan argumen tersebut sekaligus menjadi sebuah bantahan kepada sebagian pihak yang menilai bahwa ‘Rakaat Tarawih menurut ulama ahli hadis adalah 8 rakaat, sedangkan yang 20 rakaat adalah pendapat ulama fikih.’
[8]  Banyak dari pengikut Ibnu Taimiyah yang fanatis bersikukuh mengatakan bahwa salat Tarawih hanya 11 Rakaat dengan salat witirnya. Namun Ibnu Taimiyah tidak sekolot para pengikutnya, justru ia memiliki pendapat yang moderat dan arif dalam menjawab perbedaan para ulama mengenai rakaat salat Tarawih.
-  Hadis riwayat al-Bukhari (No. 2013) ini, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian Ulama, tidak tepat jika dijadikan sebagai dalil salat Tarawih 11 rakaat. Sebab kelanjutan hadis ini berbunyi: “Aisyah berkata: Apakah Engkau tidur terlebih dahulu sebelum melakukan salat Witir? Rasul Saw. menjawab: Dua mataku memang terpejam, tetapi hatiku tidak pernah tidur.” Aisyah juga menyebutkan bahwa Rasulullah melakukannya masing-masing dengan 4 rakaat dan 1 kali salam dengan sangat lama. Perkataan Aisyah yang berbunyi ‘baik di bulan Ramadlan atau bulan lainnya’ mempertegas bahwa hadis ini bukan dalil salat Tarawih, karena salat Tarawih hanya ada di bulan Ramadlan. Bahkan al-Hafidz Ibnu Hajar menjadikan hadis ini sebagai dalil dari salat Witir dalam kitab Bulugh al-Maram No. Hadis 303.

Post a Comment

0 Comments