Bismillah …
الإيْمَانُ أنْ تُؤْمِنَ
باِللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرّهِ
(رواه مسلم)
“Iman ialah engkau percaya kepada Allah,
Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau
percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim).
Qadla dan Qadhar merupakan salah
satu dari 6 rukun iman yang harus kita percayai sepenuhnya. Al-qadla maknanya Al-Khalq (penciptaan), sedangkan
al-qadar maknanya adalah attadbir (ketentuan). Secara
istilah, al-qadar artinya ketentuan Allah SWT atas segala sesuatu sesuai dengan
pengetahuanNya, kehendakNya,yang azali (tidak bermula) dimana sesuatu tersebut
kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki olehNya
terhadap kejadiannya.
Penggunaan kata “al-qadar”
terbagi menjadi 2, yaitu :
1.
Kata al-qadar bisa bermaksud taqdir
Allah SWT.
Yaitu sifat menentukannya Allah
SWT terhadap segala sesuatu yang dikehendakiNya. Dalam pengertian ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan atau kejelekan,
tetapi sifat menentukannya Allah SWT terhadap segala sesuatu yang
dikehendakiNya adalah sifat yang baik dan sempurna.
2.
Kata al-qadar bisa bermaksud “al-maqdur
(segala sesuatu yang terjadi pada makhluq)”
Dalam pengertian ini mencakup
segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluq seperti kebaikan dan keburukan,
keimanan dan kekafiran, ketaatan dan kemaksiatan dll. Dalam makna yang kedua
inilah maksud dari pada hadits diatas “dan
engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”.
Perlu diketahui :
Pemisahan
antara sifat “taqdir” dengan “maqdur” adalah sebuah keharusan. Hal ini
dikarenakan sesuatu yang disifati dengan baik dan buruk adalah hanya sesuatu
yang ada pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka
perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka
perbuatannya tersebut disebut “buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik”
dan ”buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja.
Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat
menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya, maka sifat-Nya
ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdîr Allah ini, sebagaimana
sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna. Dengan
demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan
sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdîr Allah terhadap keburukan
yang terjadi pada hamba itu bukan berarti bahwa Allah menyukai dan
memerintahkan hamba itu kepada keburukan tersebut. Demikian pula, ketika kita
katakan; Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat.
Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba,
terhadap yang baik maupun yang buruk.
Segala perbuatan yang terjadi pada
alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, semunya
terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah. Hal ini menunjukan akan
kesempurnaan Allah sWT. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
مَا شَاءَ اللهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ (رواه أبو داود)
“Apa yang dikehendaki oleh Allah
-akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka
tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud).
Dengan demikian segala apapun yang
dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi.
Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu
menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu
mustahil bagi Allah. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan
akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya
adalah perkara yang wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَاللهُ غَالِبٌ عَلَى أمْرِه (يوسف: 21)
“Allah maha mengalahkan (menang) di
atas segala urusann-Nya”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah
pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalangi-Nya”. (QS. Yusuf: 21).
Allah menghendaki orang-orang
mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi
orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-orang kafir dengan
ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang
yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-Nya,
maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لأَمَنَ مَن فِي اْلأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا (يونس:
99)
“Dan seandainya Tuhanmu (Wahai
Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS.
Yunus: 99).
Tetapi Allah tidak menghendaki
semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk
beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak
Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu
yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak
segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki
oleh-Nya.
Di antara bukti yang menunjukan
bahwa perintah Allah berbeda dengan kehendak-Nya adalah apa yang terjadi dengan
Nabi Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk menyembelih putranya; Nabi
Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim. Kemudian saat
Nabi Ibrahim hendak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah ini, bahkan telah
meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak-gerakannya di atas leher Nabi
Isma’il, namun Allah tidak berkehendak terjadinyasembelihan terhadap Nabi
Isma’il tersebut. Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba
yang bawa oleh Malaikat Jibril dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan
yang sangat nyata antara ”perintah Allah” dan ”kehendak-Nya”.
Contoh lainnya, Allah memerintah
kepada seluruh hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah
berkehendak tidak semua hamba tersebut beribadah kepada-Nya. Karenanya, ada
sebagian mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang-orang beriman,
dan ada sebagian lainnya yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang-orang kafir.
Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنّ وَالإنْسَ إلاّ لِيَعْبُدُوْن (الذاريات: 56)
“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan
manusia dan jin melainkan Aku “perintahkan” mereka untuk menyembah-Ku”. (QS.
adz-Dzariyat: 56).
Makna firman Allah “Illâ
Li-Ya’budûn” dalam ayat ini artinya “Illâ Li-Âmurahum Bi ‘Ibâdatî”, artinya
bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia perintah
mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan
manusia dan jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”.
Karena jika diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin
untuk beriman atau beribadah kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan
oleh kehendak orang-orang kafir, karena pada kenyataannya tidak semua hamba
beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara mereka yang kafir dan
menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah dikalahkanoleh
kehendak makhluk-makhluk-Nya sendiri.
Jadi :
“Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan
kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan
kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga
dengan perintah-Nya, Mahabbah-Nya, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara
keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dan dengan
Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan Mahabbah-Nya, dan tidak
dengan keridlaan-Nya”.
Ketentuan Allah SWT tidak berubah.
Telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan
kehendak Allah. Apabila Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang
hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya, sekalipun orang tersebut
bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sanak kerabatnya;
kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa yang telah
ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan bentuk
apapun.
Qadla terbagi kepada dua
bagian, yaitu Qadlâ Mubram dan Qadlâ Mu’allaq.
1.
Qadla Mubram
Yaitu ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat
berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang
mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti ketentuan mati dalam keadaan kufur
(asy-Syaqâwah), dan mati dalam keadaan beriman (as-Sa’âdah), ketentuan dalam
dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya
mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan
pernah berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya
mati dalam keadaan kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya,
tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah
berfirman:
يُضِلّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاء (النحل: 93)
“Allah
menyesatkan terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada
orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl: 93).
2.
Qadla Mu’allaq
Yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran
para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si
fulan apa bila ia berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat
rizki yang luas, atau akan mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun,
misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau tidak mau bersillaturrahim, maka
umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan rizki yang luas, dan
tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ Mu’allaq
atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lembaran-lembaran
para Malaikat. Contoh qadla mu’allaq :
لاَ يَرُدُّ القَضَاءَ شَىءٌ إلاّ الدُّعَاءُ
(رواه الترمذي)
“Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa”
(HR. at-Tirmidzi).
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat
merubah ketentuan (Taqdîr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena
mustahil sifat Allah bergantungkepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa
hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu
apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha mengetahui perbuatan manakah
yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang
telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh.
Namun demikian doa adalah sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (البقرة: 186)
“Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai
Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian
jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku.
Maka hendaklah mereka memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku,
semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186).
Artinya bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia
belaka. Ia pasti akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya
yang diampuni, permintaannya yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang
disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua dari tiga kebaikan ini
adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya. Dengan demikian maka
tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti dikabulkan
oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan.
Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah
adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan
belaka. Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan
salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di atas. (Lebih luas lihat
al-Adzkâr an-Nawawiyyah, hlm. 353)
Catatatan : Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang
menciptakan kebaikan dan keburukan. Seperti pada ayat berikut :
وَخَلَقَ كُلّ شَىء (الفرقان: 2)
”Dan Dia
Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2).
Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu”
dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda
dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga termasuk segala
kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala apapun selain Allah adalah
ciptaan Allah.
Firqah-Firqah Dalam Masalah Qadla Dan Qadar
Dalam masalah Qadla dan Qadar umat Islam terpecah menjadi
tiga golongan. Kelompok pertama disebut dengan golongan Jabriyyah, kedua
disebut dengan golongan Qadariyyah, dan ketiga adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Golongan pertama dan golongan ke dua adalah golongan sesat, dan hanya golongan
ke tiga yang selamat. Kelompok pertama, yaitu golongan Jabriyyah, berkeyakinan
bahwa para hamba itu dipaksa (Majbûr) dalam segala perbuatannya, mereka
berkeyakinan bahwa seorang hamba sama sekali tidak memiliki usaha atau ikhtiar
(al-Kasab)dalam perbuatannya tersebut. Bagi kaum Jabriyyah, manusia laksana
sehelai bulu atau kapas yang terbang ditiup angin, ia mengarah ke manapun angin
tersebut membawanya. Keyakinan sesat kaum Jabriyyah ini bertentangan dengan
firman Allah:
وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ
أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (التكوير: 29)
“Dan kalian tidaklah berkehendak kecuali apa yang
dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at-Takwir: 29).
Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa manusia
diberi kehendak (al-Masyî-ah) oleh Allah, hanya saja kehendak hamba tersebut
dibawah kehendak Allah. Pemahaman ayat ini berbeda dengan keyakinan kaum
Jabriyyah yang sama sekali menafikan Masyi’ah dari hamba. Bahkan dalam ayat
lain secara tegas dinyatakanbahwa manusia memiliki usaha dan ikhtiar (al-Kasb),
yaitu dalam firman Allah:
لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا
مَااكْتَسَبَتْ (البقرة: 286)
“Bagi setiap jiwa -balasan kebaikan- dari segala apa yang
telah ia usahakan – dari amal baik-, dan atas setiap jiwa -balasan keburukan-
dari segala apa yang ia usahakan -dari amal buruk-”. (QS. al-Baqarah: 286).
Kebalikan dari golongan Jabriyyah adalah golongan
Qadariyyah. Kaum ini memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki sifat Qadar
(menentukan) dalam melakukan segala amal perbuatannya tanpa adanya kehendak
dari Allah terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah
tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia sendiri yang
menciptakan perbuatan-perbuatannya tersebut. Terhadap golongan Qadariyyah yang
berkeyakinan seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk
mengkafirkannya, mereka bukan orang-orang Islam. Karenanya, para ulama kita
sepakat mengkafirkan kaum Qadariyyah yang berkeyakinan semacam ini. Kaum
Qadariyyah yang berkeyakinan seperti itu telah menyekutukan Allah dengan
makhluk-makhluk-Nya, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain
Allah, di samping itu mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Âjiz), karena
dalam keyakinan mereka Allah tidak menciptakan segala perbuatan
hamba-hamba-Nya. Padahal di dalam al-Qur’an Allah berfirman:
قُلِ اللهُ خَالِقُ كُلِّ
شَىْءٍ (الرعد: 16)
“Katakan
(Wahai Muhammad), Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu”. (QS. ar-Ra’ad:
16).
Mustahil Allah tidak kuasa atau lemah untuk menciptakan
segala perbuatan hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala
benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya, yaitu adz-Dzarrah, hingga benda
yang paling besar, yaitu arsy, termasuk tubuh manusia yang notabene sebagai
benda juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah sebagai Pencipta segala benda
tersebut, maka demikian pula Allah sebagai Pencipta bagi segala sifat dan
segala perbuatan dari benda-benda tersebut. Sangat tidak logis jika dikatakan
adanya suatu benda yang diciptakan oleh Allah, tapi kemudian benda itu sendiri
yang menciptakan sifat-sifat dan segala perbuatannya. Karena itu Imam
al-Bukhari telah menuliskan satu kitab berjudul “Khalq Af’âl al-‘Ibâd”,berisi
penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan
manusia itu sendiri.
Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita kesesatan
dan kekufuran kaum Qadariyyah, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada
selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah setara dengan makhluk-makhluk-Nya
sendiri; sama-sama menciptakan. Mereka tidak hanya menetapkan adanya satu
sekutu bagi Allah tapi mereka menetapkan banyak sekutu bagi-Nya, karena dalam
keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya
masing-masing, sebagimana Allah adalah Pencipta bagi tubuh-tubuh semua manusia
tersebut. Na’ûdzu Billâh.
Golongan ke tiga, yaitu Ahlussunnah Wal Jama’ah, adalah
golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini adalah keyakinan yang telah
dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, antar genarasi ke
genarasi. Dan inilah keyakinan yang telah diwariskan oleh Rasulullah kepada
para sahabatnya. Mereka menetapkanbahwa tidak ada pencipta selain Allah. Hanya
Allah yang menciptakan semua makhluk, dari mulai dzat atau benda yang paling
kecil hingga benda yang paling besar, dan Allah pula yang menciptakan segala
sifat dan segala perbuatan dari benda-benda tersebut.
Perbuatan manusia terbagi kepada dua bagian;
Pertama, Af’âl Ikhtiyâriyyah, yaitu segala perbuatan yang
terjadi dengan inisiatif, usaha, kesadaran, dan dengan ikhtiar dari manusia itu
sendiri, seperti makan, minum, berjalan, dan lain-lain.
Kedua; Af’âl
Idlthirâriyyah, yaitu segala perbuatan manusia yang terjadi di luar usaha, dan
di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam
tubuh, dan lain sebagainya.
Dalam
keyakinan Ahlussunnah; seluruh perbuatan manusia, baik Af’âl Ikhtiyâriyyah,
maupun Af’âl Idlthirâriyyah adalah ciptaan Allah.
Wallahu a’lam
Bisshowab
Sumber : Piss KTB
0 Comments