![]() |
memperingati maulid nabi SAW |
Alhamdulillah wa sholatu wa salam ‘ala rosulillah ...
Berawal dari keluhan serta pertanyaan dari beberapa teman
tentang sebagian media islam yang mengatakan bahwa maulid nabi SAW itu tidak
ada dasarnya dan merupakan bid’ah. Bahkan saya pun mendapat beberapa pertanyaan
dari salah satu group di media sosial mengenai hal itu.
Pertanyaannya kurang lebih sebagai berikut :
- Berapa kali Nabi SAW merayakan maulid atau hari lahir beliau ?
- Sebutkan dalil yang memerintahkan para sahabat untuk merayakan maulid nabi ?
- Siapakah dari khalifah rasyidin yang melakukan maulid nabi ?
- Dimana para sahabat yang melakukan maulid nabi ?
- Bagaimana cara perayaan maulid nabi pada masa sahabat ?
- Tahun berapa para imam mahzab mengadakan maulid nabi ?
- Apakah nasyid populer yang disenandungkan saat maulid ?
Untuk saudaraku seiman, pertama-tama perlu diketahui bahwa
maulid secara harfiah berarti tempat atau hari kelahiran seseorang. Mengenai
makna secara harfiah jelas tidak ada perbedaan, namun mengenai cara pelaksanaannya sudah dimaklumi
akan terus terjadi perdebatan.
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa maulid nabi itu
sama dengan merayakan natal. Saya hanya ingin bilang bahwa secara harfiah
memiliki makna yang sama, namun secara pelaksanaan jelas berbeda. Umat kristen
menganggap nabi Isa sebagai Tuhan dimana dari hal tersebut sudah merupakan
kebathilan dan dasar tauhid yang berbeda, ditambah dengan perayaan perayaan
yang jauh berbeda dengan acara maulid nabi yang diisi dengan shalawatan,
membaca sirah nabawi maupun dengan sedekah.
Shahih muslim, puasa
1910. Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Husyaim
dari Abu Bisyr dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, ia
berkata; Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam belum lama tiba di
Madinah, didapatinya orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura`. Lalu
mereka pun ditanya (alasan apa mereka berpuasa di hari itu). Mereka menjawab,
"Hari ini adalah hari kemenangan Musa dan Bani Isra`il atas Fir'aun.
Karena itu, kami puasa pada hari ini untuk menghormati Musa." Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Sesungguhnya kami lebih pantas
untuk memuliakan Musa daripada kalian." lalu beliau perintahkan agar kaum
muslimin puasa pada hari 'Asyura`. Dan Telah meceritakannya kepada kami Ibnu
Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi' semuanya dari Muhammad bin Ja'far dari Syu'bah
dari Abu Bisyr dengan isnad ini, dan ia mengatakan; Maka beliau pun menanyakan
hal itu pada mereka.
Penjelasan :
Nabi menyelisihi orang yahudi bahwa ummat islam lebih pantas
berpuasa dari mereka. Hal tersebut karena ummat yahudi telah melenceng dari
agamanya sehingga yg dilakukan nabi adalah meluruskan
Yang kedua ada yang harus diluruskan mengenai makna bid’ah.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ
سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai
perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala
orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa
dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Dari hadits ini menunjukkan melakukan perbuatan yang baik
akan mendapat pahala, begitupun juga sebaliknya.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ
ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ
أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا
أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ
غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian.
Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi
Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka
yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua:
Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun
Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i,
j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ
مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ
وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang
tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah
yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini
disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat
madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di
antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam,
an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari
kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir,
al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain.
Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi,
az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi
dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Yang ketiga ini tak kalah pentingnya yaitu memahami apa itu
ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah
ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan
perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
- Wudhu,
- Tayammum
- Mandi hadats
- Shalat
- Shiyam ( Puasa )
- Haji
- Umrah
Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip, yaitu :
- Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah
- Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw
- Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika
- Azasnya “taat”
Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang
diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir,
dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini,
ada 4 :
- Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang
- Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul
- Bersifat rasional
- Azasnya “Manfaat”
Nah itulah 3 ulasan yang harus kita ketahui terlebih dahulu
yaitu mengenai maulis, bid’ah dan ibadah, karena banyak dari kita yang awam
salah dalam menyimpulkan dan mungkin cenderung menafsirkan secara dzahir ayat
ataupun hadits yang ada.
Menanggapi 7 pertanyaan diatas.
No 1 sampai 5
Shahih Muslim,
Dan telah menceritakan
kepadaku Ibnu Abu Umar -> Marwan Al Fazari -> Yazid, ia adalah anak
Kaisan dari Abu Hazim Al Asyja'i -> Abu Hurairah ia berkata; Suatu ketika
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bertanya: "Siapakah di
antara kalian yang pagi ini sedang berpuasa?" Abu Bakar menjawab,
"Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari
ini telah menghantarkan jenazah?" Abu Bakar menjawab: "Aku."
Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah memberi
makan orang miskin?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Beliau bertanya
lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah menjenguk orang
sakit?" Abu Bakar menjawab, "Aku." Selanjutnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah semua itu ada pada
seseorang kecuali dia pasti akan masuk surga."
Shahih Muslim bab Puasa
1978. Dan telah
menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abdurrahman
bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun dari Ghailan dari
Abdullah bin Ma'bad Az Zimani dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu 'anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa
pada hari Senin, maka beliau pun menjawab: "Di hari itulah saya
dilahirkan, dan pada hari itu pula, wahyu diturunkan atasku."
Dalil bahwa nabi SAW pun merayakan dengan amal ibadah
mahdhah yaitu puasa. Bahkan didalam atsar dijelaskan bahwa abu jahal menempari
neraka paling bawah, namun dia mendapat keringanan siksa pada setiap hari senin
karena kegembiraannya terhadap kelahiran baginda nabi besar Muhammad SAW.
Kedua hadits diatas menjadi dalil bagi ahlus sunnah wal
jama'ah dari kalangan 4 mahzab bahwa memperingati maulid nabi hukumnya adalah
sunnah dan bisa berubah hukum tergantung illatnya.
Jika nabi merayakan millad beliau dg berpuasa, kita pun
merayakan millad beliau dengan membaca sirah beliau, sedekah, pembacaan doa,
shalawat dll
Ibnu Jubair (lahir pada tahun 540 H) mengatakan dalam
kitabnya yang berjudul Rihal :
“
Tempat yang penuh berkah ini dibuka yakni rumah Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam, dan semua laki-laki memasukinya untuk mengambil berkah dengannya di
setiap hari senin dari bulan Rabi’ul Awwal. Di hari dan bulan inilah Nabi
shallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan “
Dari sini sudah jelas bahwa saat itu perayaan maulid Nabi
merupakan sudah menjadi tradisi kaum muslimin di Makkah sebelum kedatangan Ibnu
Jubair di Makkah dan Madinah dengan acara yang berbeda yaitu membuka rumah Nabi
untuk umum agar mendapat berkah dengannya. Ibnu Jubair masuk ke kota Makkah
tanggal 16 Syawwal tahun 579 Hijriyyah. Menetap di sana selama delapan bulan
dan meninggalkan kota Makkah hari Kamis tanggal 22 bulan Dzul Hijjah tahun 579
H, dengan menuju ke kota Madinah al-Munawwarah dan menetap selama 5 hari saja.
Jadi Nabi SAW dan para sahabat melakukan maulid dengan
berpuasa.
No 6
Mengenai para imam mahzab, ada beberapa point yang harus
diluruskan, yaitu :
1, Tidaklah setiap perbuatan yang tidak dilakukan
oleh para Imam Mazhab 4 maka perbuatan tersebut adalah haram, bahkan perbuatan
yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW sendiri belum tentu haram.
Kaidah Ushul Fiqh : “Meninggalkan sesuatu tidaklah menunjuki
kepada bahwa perbuatan tersebut terlarang”
Pada Memperingati Maulid Nabi SAW yang bid’ah
hanyalah pada tatacara pelaksanaannya dan bukan diri Memperingati Maulid Nabi
itu sendiri, karena inti dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW terkandung
dalam beberapa perintah.
Imam Syafi’i RA berkata: “Setiap perkara yang memiliki
Sandaran dari syara’, Maka ia bukanlah bid’ah, Walaupun tidak dikerjakan oleh
Shalaf/Shahabat”
2. Dikisahkan dalam riwayat masyhur bahwa Imam
Ibn-Katsir pernah memuji Raja al-Mudhaffar yang menyelenggarakan Maulid Nabi
Muhammad secara besar-besaran. Imam Ibn-Katsir mengatakan : “Raja Al-Muzhaffar
Abu Sa’id Al-Kaukabari ibn Zainuddin ‘Ali bin-Tabaktakin adalah seorang
dermawan, pemimpin yang besar, serta raja mulia memiliki peninggalan yang
baik.”
Disisi lain, Imam Ibn-Katsir berkata: “Dan dia
menyelenggarakan maulid yang mulia di bulan Rabi’ul-Awwal secara besar-besaran.
Ia juga seorang raja yang berpemikiran cemerlang, pemberani, kesatria, pandai
dan adil. Semoga Allah SWT mengasihinya dan menempatkannya di tempat yang
paling baik”.
Imam Ibnu Katsir RA, berkata:
“Ia (Raja
Al-Muzhaffar) membelanjakan hartanya sebesar 3000 dinar emas untuk perayaan
maulid Nabi saw setiap tahunnya”.
Kalau memang Memperingati Maulid Nabi SAW merupakan satu
perbuatan bid’ah yang tercela, tentu saja Imam Ibnu Katsir tidak akan memuji
Raja Al-Muzhaffar, dengan seorang yang alim, adil, dan akan mengatakan itu
adalah salah satu ahli bid’ah. Tapi ini tidak.
No 7
Syair atau “nyanyian” Thala’al Badru ‘Alaina yang
dilantunkan kaum Anshor saat menyambut kedatangan Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam di Madinah (hijrah dari Makkah) tercatat sebagai lagu tertua dalam
sejarah Islam. Saat itu lagu tersebut dilantunkan dengan iringan rebana yang
ditabuh bersama-sama oleh kaum Anshor. Bisa dikatakan, Thala’al Badru ‘Alaina
merupakan tonggak sejarah kemunculan dan berkembangnya nasyid hingga saat ini.
Thola’al Badru ‘alaina
Min Tsaniyatil Wada’
Wajaba syukru ‘alaina
Ma da’a lillahi da’
NASYID dalam pengertian senandung, nyanyian, atau syair
sudah berkembang saat Islam hadir didakwahkan Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam di Jazirah Arab.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam saat itu “mendiamkan”
(taqrir) atau tidak melarang syair-syair yang berkembang di kalangan Sahabat,
selama isi syair itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits
Namun sebagian kalangan (wahhabi) berpendapat bahwa dari
sisi periwayatan (takhrij) kisah tersebut lemah (dhoif).
Sanad kisah tersebut dikatakan terputus tiga tingkat secara
berurutan yaitu sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in, dan hadist dengan sanad
semacam inilah yang oleh para ulama hadist dinamakan dengan mu’dhol, sedangkan
mu’dhol adalah sebuah hadist yang lemah.
Andaikatapun syair lagu tersebut lahir setelah generasi
Salafush Sholeh apakah merupakan sebuah bid’ah atau sebuah kesesatan ?
Inti dari pelarangan terhadap suatu nyanyian adalah karena
pada masa itu setiap ada kemaksiatan seperti minum-minum dan berkumpulnya para
wanita penghibur, terdapat juga nynyian-nyanyian yang disenangdungkan untuk
para tamu dll. Namun jika tujuan dari syair itu untuk mendekatkan diri pada
Allah seperti lagu religi , hal itu justru bisa menjadi ladang pahala
tersenndiri bagi kita karena kita sudah ketahui bersama bahwa nyanyian itu dapat merubah suasana hati.
Lalu, Pentingkah saat ini kita merayakan maulid nabi SAW ?
Sangat penting karena kita berada jauh dari masa Nabi SAW, kita semakin jauh dari sunnah beliau SAW. Dengan adanya peringatan maulid, diharapkan para generasi selanjutnya mampu meneladani Nabi SAW dari segala aspek dan menanamkan kecintaan kepada beliau SAW.
Perlu juga diketahui bahwa sebagian besar ummat muslim adalah ahlu sunnah wal jama'ah asy'ariyyah maturidiyah dan berpegang pada imam mahzab. Sangat tidk mungkin jika mayoritas ummat muslim bersekongkol dalam kebathilan. Jelas ini semua sudah ada tuntunannya.
1 Comments
Yg jadi pertanyaan akhi? Mengapa para sahabat dan tabiin tdk melakukan itu? Tdk melakukan maulid klo itu memang baik?? Dan sudahkah di telusuri siapakah yg pertama kali membuat maulid atau memploklamakirkan maulid ini? Apakah dari ulama ahli sunnah wal jamaah? Mohon di jawab
ReplyDelete