Pentingkah Memperingati Maulid Nabi SAW

Maulid Nabi SAW
memperingati maulid nabi SAW

Alhamdulillah wa sholatu wa salam ‘ala rosulillah ...

Berawal dari keluhan serta pertanyaan dari beberapa teman tentang sebagian media islam yang mengatakan bahwa maulid nabi SAW itu tidak ada dasarnya dan merupakan bid’ah. Bahkan saya pun mendapat beberapa pertanyaan dari salah satu group di media sosial mengenai hal itu.


Pertanyaannya kurang lebih sebagai berikut :
  1.  Berapa kali Nabi SAW merayakan maulid atau hari lahir beliau ?
  2.  Sebutkan dalil yang memerintahkan para sahabat untuk merayakan maulid nabi ?
  3.  Siapakah dari khalifah rasyidin yang melakukan maulid nabi ?
  4.  Dimana para sahabat yang melakukan maulid nabi ?
  5. Bagaimana cara perayaan maulid nabi pada masa sahabat ?
  6. Tahun berapa para imam mahzab mengadakan maulid nabi ?
  7. Apakah nasyid populer yang disenandungkan saat maulid ?

Untuk saudaraku seiman, pertama-tama perlu diketahui bahwa maulid secara harfiah berarti tempat atau hari kelahiran seseorang. Mengenai makna secara harfiah jelas tidak ada perbedaan, namun  mengenai cara pelaksanaannya sudah dimaklumi akan terus terjadi perdebatan.

Ada sebagian orang yang menganggap bahwa maulid nabi itu sama dengan merayakan natal. Saya hanya ingin bilang bahwa secara harfiah memiliki makna yang sama, namun secara pelaksanaan jelas berbeda. Umat kristen menganggap nabi Isa sebagai Tuhan dimana dari hal tersebut sudah merupakan kebathilan dan dasar tauhid yang berbeda, ditambah dengan perayaan perayaan yang jauh berbeda dengan acara maulid nabi yang diisi dengan shalawatan, membaca sirah nabawi maupun dengan sedekah.

Shahih muslim, puasa
1910. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, ia berkata; Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam belum lama tiba di Madinah, didapatinya orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura`. Lalu mereka pun ditanya (alasan apa mereka berpuasa di hari itu). Mereka menjawab, "Hari ini adalah hari kemenangan Musa dan Bani Isra`il atas Fir'aun. Karena itu, kami puasa pada hari ini untuk menghormati Musa." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Sesungguhnya kami lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian." lalu beliau perintahkan agar kaum muslimin puasa pada hari 'Asyura`. Dan Telah meceritakannya kepada kami Ibnu Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi' semuanya dari Muhammad bin Ja'far dari Syu'bah dari Abu Bisyr dengan isnad ini, dan ia mengatakan; Maka beliau pun menanyakan hal itu pada mereka.

Penjelasan :
Nabi menyelisihi orang yahudi bahwa ummat islam lebih pantas berpuasa dari mereka. Hal tersebut karena ummat yahudi telah melenceng dari agamanya sehingga yg dilakukan nabi adalah meluruskan

Yang kedua ada yang harus diluruskan mengenai makna bid’ah.

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم  مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).

Dari hadits ini menunjukkan melakukan perbuatan yang baik akan mendapat pahala, begitupun juga sebaliknya.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).

Yang ketiga ini tak kalah pentingnya yaitu memahami apa itu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah : 
  1. Wudhu,
  2. Tayammum 
  3. Mandi hadats
  4. Shalat
  5. Shiyam ( Puasa )
  6. Haji
  7.  Umrah
Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip, yaitu :
  1.  Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah
  2. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw
  3. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika
  4. Azasnya “taat”


Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4 :
  1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang
  2. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul
  3.  Bersifat rasional
  4. Azasnya “Manfaat”

Nah itulah 3 ulasan yang harus kita ketahui terlebih dahulu yaitu mengenai maulis, bid’ah dan ibadah, karena banyak dari kita yang awam salah dalam menyimpulkan dan mungkin cenderung menafsirkan secara dzahir ayat ataupun hadits yang ada.

Menanggapi 7 pertanyaan diatas.

No 1 sampai 5

Shahih Muslim,
Dan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Umar -> Marwan Al Fazari -> Yazid, ia adalah anak Kaisan dari Abu Hazim Al Asyja'i -> Abu Hurairah ia berkata; Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bertanya: "Siapakah di antara kalian yang pagi ini sedang berpuasa?" Abu Bakar menjawab, "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah menghantarkan jenazah?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?" Abu Bakar menjawab, "Aku." Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah semua itu ada pada seseorang kecuali dia pasti akan masuk surga."

Shahih Muslim bab Puasa
1978. Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun dari Ghailan dari Abdullah bin Ma'bad Az Zimani dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, maka beliau pun menjawab: "Di hari itulah saya dilahirkan, dan pada hari itu pula, wahyu diturunkan atasku."

Dalil bahwa nabi SAW pun merayakan dengan amal ibadah mahdhah yaitu puasa. Bahkan didalam atsar dijelaskan bahwa abu jahal menempari neraka paling bawah, namun dia mendapat keringanan siksa pada setiap hari senin karena kegembiraannya terhadap kelahiran baginda nabi besar Muhammad SAW.

Kedua hadits diatas menjadi dalil bagi ahlus sunnah wal jama'ah dari kalangan 4 mahzab bahwa memperingati maulid nabi hukumnya adalah sunnah dan bisa berubah hukum tergantung illatnya.
Jika nabi merayakan millad beliau dg berpuasa, kita pun merayakan millad beliau dengan membaca sirah beliau, sedekah, pembacaan doa, shalawat dll

Ibnu Jubair (lahir pada tahun 540 H) mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Rihal :

Tempat yang penuh berkah ini dibuka yakni rumah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, dan semua laki-laki memasukinya untuk mengambil berkah dengannya di setiap hari senin dari bulan Rabi’ul Awwal. Di hari dan bulan inilah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan “

Dari sini sudah jelas bahwa saat itu perayaan maulid Nabi merupakan sudah menjadi tradisi kaum muslimin di Makkah sebelum kedatangan Ibnu Jubair di Makkah dan Madinah dengan acara yang berbeda yaitu membuka rumah Nabi untuk umum agar mendapat berkah dengannya. Ibnu Jubair masuk ke kota Makkah tanggal 16 Syawwal tahun 579 Hijriyyah. Menetap di sana selama delapan bulan dan meninggalkan kota Makkah hari Kamis tanggal 22 bulan Dzul Hijjah tahun 579 H, dengan menuju ke kota Madinah al-Munawwarah dan menetap selama 5 hari saja.

Jadi Nabi SAW dan para sahabat melakukan maulid dengan berpuasa.

No 6

Mengenai para imam mahzab, ada beberapa point yang harus diluruskan, yaitu :

1, Tidaklah setiap perbuatan yang tidak dilakukan oleh para Imam Mazhab 4 maka perbuatan tersebut adalah haram, bahkan perbuatan yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW sendiri belum tentu haram.


Kaidah Ushul Fiqh : “Meninggalkan sesuatu tidaklah menunjuki kepada bahwa perbuatan tersebut terlarang”

 Pada Memperingati Maulid Nabi SAW yang bid’ah hanyalah pada tatacara pelaksanaannya dan bukan diri Memperingati Maulid Nabi itu sendiri, karena inti dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW terkandung dalam beberapa perintah.

Imam Syafi’i RA berkata: “Setiap perkara yang memiliki Sandaran dari syara’, Maka ia bukanlah bid’ah, Walaupun tidak dikerjakan oleh Shalaf/Shahabat”

2.  Dikisahkan dalam riwayat masyhur bahwa Imam Ibn-Katsir pernah memuji Raja al-Mudhaffar yang menyelenggarakan Maulid Nabi Muhammad secara besar-besaran. Imam Ibn-Katsir mengatakan : “Raja Al-Muzhaffar Abu Sa’id Al-Kaukabari ibn Zainuddin ‘Ali bin-Tabaktakin adalah seorang dermawan, pemimpin yang besar, serta raja mulia memiliki peninggalan yang baik.”

Disisi lain, Imam Ibn-Katsir berkata: “Dan dia menyelenggarakan maulid yang mulia di bulan Rabi’ul-Awwal secara besar-besaran. Ia juga seorang raja yang berpemikiran cemerlang, pemberani, kesatria, pandai dan adil. Semoga Allah SWT mengasihinya dan menempatkannya di tempat yang paling baik”.

Imam Ibnu Katsir RA, berkata:

 “Ia (Raja Al-Muzhaffar) membelanjakan hartanya sebesar 3000 dinar emas untuk perayaan maulid Nabi saw setiap tahunnya”.

Kalau memang Memperingati Maulid Nabi SAW merupakan satu perbuatan bid’ah yang tercela, tentu saja Imam Ibnu Katsir tidak akan memuji Raja Al-Muzhaffar, dengan seorang yang alim, adil, dan akan mengatakan itu adalah salah satu ahli bid’ah. Tapi ini tidak.

No 7

Syair atau “nyanyian” Thala’al Badru ‘Alaina yang dilantunkan kaum Anshor saat menyambut kedatangan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam di Madinah (hijrah dari Makkah) tercatat sebagai lagu tertua dalam sejarah Islam. Saat itu lagu tersebut dilantunkan dengan iringan rebana yang ditabuh bersama-sama oleh kaum Anshor. Bisa dikatakan, Thala’al Badru ‘Alaina merupakan tonggak sejarah kemunculan dan berkembangnya nasyid hingga saat ini.

Thola’al Badru ‘alaina
Min Tsaniyatil Wada’
Wajaba syukru ‘alaina
Ma da’a lillahi da’

NASYID dalam pengertian senandung, nyanyian, atau syair sudah berkembang saat Islam hadir didakwahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam di Jazirah Arab.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam saat itu “mendiamkan” (taqrir) atau tidak melarang syair-syair yang berkembang di kalangan Sahabat, selama isi syair itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits

Namun sebagian kalangan (wahhabi) berpendapat bahwa dari sisi periwayatan (takhrij) kisah tersebut lemah (dhoif).

Sanad kisah tersebut dikatakan terputus tiga tingkat secara berurutan yaitu sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in, dan hadist dengan sanad semacam inilah yang oleh para ulama hadist dinamakan dengan mu’dhol, sedangkan mu’dhol adalah sebuah hadist yang lemah.

Andaikatapun syair lagu tersebut lahir setelah generasi Salafush Sholeh apakah merupakan sebuah bid’ah atau sebuah kesesatan ?

Inti dari pelarangan terhadap suatu nyanyian adalah karena pada masa itu setiap ada kemaksiatan seperti minum-minum dan berkumpulnya para wanita penghibur, terdapat juga nynyian-nyanyian yang disenangdungkan untuk para tamu dll. Namun jika tujuan dari syair itu untuk mendekatkan diri pada Allah seperti lagu religi , hal itu justru bisa menjadi ladang pahala tersenndiri bagi kita karena kita sudah ketahui bersama bahwa nyanyian itu dapat merubah suasana hati.

Lalu, Pentingkah saat ini kita merayakan maulid nabi SAW ?
Sangat penting karena kita berada jauh dari masa Nabi SAW, kita semakin jauh dari sunnah beliau SAW. Dengan adanya peringatan maulid, diharapkan para generasi selanjutnya mampu meneladani Nabi SAW dari segala aspek dan menanamkan kecintaan kepada beliau SAW.

Perlu juga diketahui bahwa sebagian besar ummat muslim adalah ahlu sunnah wal jama'ah asy'ariyyah maturidiyah dan berpegang pada imam mahzab. Sangat tidk mungkin jika mayoritas ummat muslim bersekongkol dalam kebathilan. Jelas ini semua sudah ada tuntunannya.

Wallahu a'lam

Post a Comment

1 Comments

  1. Yg jadi pertanyaan akhi? Mengapa para sahabat dan tabiin tdk melakukan itu? Tdk melakukan maulid klo itu memang baik?? Dan sudahkah di telusuri siapakah yg pertama kali membuat maulid atau memploklamakirkan maulid ini? Apakah dari ulama ahli sunnah wal jamaah? Mohon di jawab

    ReplyDelete