3 Cara Mendidik Anak Menurut Ali bin Abi Thalib

3 Cara Mendidik Anak Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib

Islam adalah agama yang mengajarkan kebaikan pada setiap aspek, termasuk dalam aspek pendidikan. Telah banyak kitab maupun karangan para ulama yang membahas tentang system pendidikan baik itu mencakup metode, sarana dan prasarana, media dan alat, sumber belajar dan lain sebagainya yang dapat diimplementasikan oleh ummat muslim saat ini. Namun selain itu ada acara-cara atau strategi khusus yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW maupun para ulama, diantaranya adalah 3 cara mendidik anak menurut Sayyidina Ali bin abi Thalib RA.

Sebelum membahas ketiga cara tersebut, ada ucapan dari beliau yang cukup menginspirasi bagi orang tua zaman sekarang, yaitu : “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”. 


Dari ucapan tersebut seharusnya menyadarkan kita untuk mendidik anak bukan hanya melalui sudut pandang pribadi seperti orang tua kita dalam medidik kita, tapi kita juga dituntut untuk memperhatikan perkembangan zaman agar anak kita mampu bersaing serta mampu memaksimalkan potensi mereka sepenuhnya.

Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ada tiga pengelompokan dalam cara memperlakukan anak: 
1) Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai raja. 
2) Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan. 
3) Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai shahabat.

1. Pada 7 tahun pertama, perlakukan anak sebagai raja (0-7 th).

Yang dimaksud di sini, bukan berarti kita menuruti semua keinginan anak, melainkan memberikan perhatian penuh kepada anak, karena di usia inilah mereka mengalami masa emas. Saat maksimal pembentukan sel otak 70%, dan kemampuan anak menyerap informasi masih sangat kuat. Jangan serahkan sepenuhnya pada pengasuh kecuali jika memang terpaksa. Rawatlah mereka dengan tangan kita. Perhatian kecil yang sederhana tapi tulus dari lubuk hati pasti akan membekas pada mereka

Banyak hal kecil yang setiap hari kita lakukan ternyata akan berdampak sangat baik bagi perkembangan perilakunya, misalnya :

• Bila kita langsung menjawab dan menghampirinya saat ia memanggil kita, bahkan ketika kita sedang sibuk dengan pekerjaan kita, maka ia akan langsung menjawab dan menghampiri kita ketika memanggilnya.
• Saat kita tanpa bosan mengusap punggungnya hingga ia tidur, maka kelak kita akan terharu ketika ia memijat atau membelai punggung kita saat kita kelelahan atau sakit.
• Saat kita berusaha keras menahan emosi di saat ia melakukan kesalahan sebesar apapun, lihatlah dikemudian hari ia akan mampu menahan emosinya ketika adik/ temannya melakukan kesalahan padanya.

Beralih dan menengok pemikiran Barat, Jean Piaget dalam teorinya juga memiliki kesesuaian dengan apa yang diungkapkan oleh Sayyidina Ali. Pada usia 0 – 7 tahun, Piaget menekankan 2 tahapan pada anak, yaitu tahap sensorimotor dan tahap pra operasional. Kedua tahapan tersebut menekankan sikap egosentris pada anak, namun pada saat ini juga tingak imajinasi mereka dapat berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah salah ketika Sayyidina Ali menganggap dan memposisikan seorang anak pada tahapan ini seperti seorang raja.

Maka ketika kita selalu berusaha sekuat tenaga untuk melayani dan menyenangkan hati anak yang belum berusia tujuh tahun, insya Allah ia akan tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, perhatian dan bertanggung jawab. Karena jika kita mencintai dan memperlakukannya sebagai raja, maka ia juga akan mencintai dan memperlakukan kita sebagai raja dan ratunya.
Dengan demikian, intinya pada tahap ini adalah anak belajar dari sikap kita kepadanya, jika kita lembut kepadanya maka ia akan tumbuh menjadi orang yang lembut. Lembut disini bukan berarti kita memanjakan tapi kita tetap tegas mengenai hal-hal yang baik dan tidak untuknya.

2. Pada 7 tahun kedua, perlakukan anak sebagai tawanan perang (7-14 th)

Ketika anak sudah menginjak tahap ini, maka orang tua harus mengubah cara mendidiknya dengan menekankan kedisiplinan pada anak. Hal ini juga dicontohkan oleh Nabi SAW dalam hadits berikut :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سَوَّارُ بْنُ دَاوُدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغُوا سَبْعًا وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغُوا عَشْرًا وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ قَالَ أَبِي وَقَالَ الطُّفَاوِيُّ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ سَوَّارٌ أَبُو حَمْزَةَ وَأَخْطَأَ فِيهِ

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Waqi' telah menceritakan kepada kami Sawwar bin Dawud dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Suruhlah anak-anak kecil kalian untuk melaksanakan shalat pada saat mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (karena meninggalkannya) pada saat berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka." Ayahku berkata; dan At Thufawi Muhammad bin Abdurrahman berkomentar; dalam hadits ini terdapat Sawwar Abu Hamzah dan ia telah keliru di dalamnya. (Musnad Imam Ahmad : No 6402)

Maksud dari hadits diatas adalah perintah Nabi SAW kepada setiap orang tua untuk mulai mendisiplinkan shalat ataupun ibadah-ibadah lainnya dalam syari’at ketika berusia 7 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia tersebut bisa menjadi pijakan bagi orang tua untuk mengajarkan kedisplinan terhadap sesuatu.

Pada tahap ini jugalah logika sang anak tumbuh dan berkembang secara cepat karena rasa keingin tahuan yang tinggi. Selain itu, pada fase kedua inilah akan terjadi pubertas. Anak harus dipersiapkan disiplin sebelum menginjak pubertas dimana semua ketentuan rukun Islam (Shalat, Puasa, dll) harus ia lakukan sendiri dan akan menjadi dosa jika ia tinggalkan.

      Oleh karena itu, para orang tua harus bisa mendidik anak dengan keteladanan serta menekankan mana yang baik dan mana yang salah serta memberi manfaat maupun mudharat dari setiap perbuatan yang dilakukan, sehingga pantaslah jika saran Sayyidina Ali kepada para orang tua untuk memperlaukan anaknya seperti tawanan perang. Hal ini dilakukan untuk menekan pemahaman yang salah mengenai sesuatu serta menekankan kedisplinan anak pada syari’at.

Demi mendukung pernyataan Nabi SAW dan Sayyidina Ali RA, penulis mengambil teori Jean Piaget sebagai lanjutan dari tahap sensorimotor dan pra operasional, yaitu tahap operasional konkrit (7 -14 tahun). Pada tahap ini, Jean Piaget mengungkapkan bahwa anak pada usia tersebut memiliki ciri-ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Bahkan banyak teori lain yang mengatakan bahwa pada tahap ini seorang anak kan mengalami perkembangan fungsi wilayah sexnya serta keingintahuan mereka terhadap sex, kemampuan berfikir abstrak, emosi yang tidak stabil dll. Dengan demikian, para orang tua harus selalu memperhatikan dan mengawasi mereka dalam berteman dengan sebayanya, maupun bergaul dengan masyarakat sekitar. 

Mengutip kisah dari Imam Syafi’i dalam mengawasi anaknya. Dikisahkan Imam Syafi’i sangat memperhatikan pertumbuhan anaknya. Untuk anak lelakinya, ketika diperkirakan memasuki usia baligh, seusai qiyamul lail beliau selalu menyempatkan diri untuk memeriksa pakaian dalam anaknya. Adakah pakaian dalam itu basah oleh mimpi yang menjadi pertanda peralihan usia?
Dan ketika suatu hari beliau mendapati anaknya telah melalui fase tersebut, sang imam memiliki cara khusus untuk menyambutnya. Beliau mengundang seluruh tetangga dan di depan mereka Imam Syafii mempersaksikan dan meminta anaknya untuk bersyahadat ulang. Pada hadirin beliau berpesan, jika mereka melihat anaknya berbuat salah, maka diminta untuk segera menegurnya.

Pengalaman Imam Syafii mengawal pertumbuhan anaknya dapat menginspirasi kita untuk menjelaskan dan mengajarkan pada anak hal-hal yang wajib dilakukan bila ia telah mendapat tanda ‘akil baligh’ tersebut. Hal ini juga dimaksudkan agar pengalaman pertama mendapat tanda tersebut tidak dishare kepada teman, tetapi pada ayah atau ibunya.

Baca juga artikel menarik berikut ya :
Konsep Pendidik yang Humanis Dalam Islam

3. Pada Fase Ketiga setelah 7 th kedua (14 tahun ke atas), perlakukan anak sebagai sahabat.

Usia 15 tahun adalah usia umum saat anak menginjak akil baligh. Sebagai orang tua kita sebaiknya memposisikan diri sebagai sahabat dan memberi contoh atau teladan yang baik seperti yang diajarkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Adapun pendekatan yang tepat kepada anak adalah sebagai berikut : 

1) Berbicara dari hati ke hati dengannya.

menjelaskan bahwa ia sudah remaja dan beranjak dewasa. Perlu dikomunikasikan bahwa selain mengalami perubahan fisik, anak juga akan mengalami perubahan secara mental, spiritual, sosial, budaya dan lingkungan, sehingga sangat mungkin akan ada masalah yang harus dihadapinya. Paling penting bagi kita para orang tua adalah kita harus dapat membangun kesadaran pada anak-anak kita bahwa pada usia setelah akil baliqh ini, ia sudah memiliki buku amalannya sendiri yang kelak akan ditayangkan dan diminta pertanggung jawabannya oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala.

2) Memberi ruang lebih kepada anak, namun tetap dalam pengawasan. 

Controlling tetap harus dilakukan tanpa bersikap otoriter dan tentu saja diiringi dengan berdo'a untuk kebaikan dan keselamatannya. Dengan demikian anak akan merasa penting, dihormati, dicintai, dihargai dan disayangi. Selanjutnya, ia akan merasa percaya diri dan mempunyai kepribadian yang kuat untuk selalu cenderung pada kebaikan dan menjauhi perilaku buruk.

3) Mempercayakan tanggung jawab yang lebih berat. 

Waktu usia 15-21 tahun ini penting bagi kita untuk memberinya tanggung jawab yang lebih berat dan lebih besar, dengan begini kelak anak- anak kita dapat menjadi pribadi yang cekatan, mandiri, bertanggung jawab dan dapat diandalkan. Contoh pemberian tanggung jawab pada usia ini misalnya dengan memintanya membimbing adik-adiknya mengerjakan beberapa pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh orang dewasa, atau mengatur jadwal kegiatan dan mengelola keuangannya sendiri.

4) Membekali anak dengan keahlian hidup.

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الشَّامِ أَنْ عَلِّمُوا أَوْلادَكُمُ السِّبَاحَةَ وَالرَّمْيَ وَالْفُرُوسِيَّةَ

Artinya, “Umar bin Khattab telah mewajibkan penduduk Syam supaya mengajar anak-anak kamu berenang, dan memanah, dan menunggang kuda.”

Hadis di atas tercantum dalam kitab Kanzul Umal fi Sunanil Aqwali wal Af’al karya ‘Alauddin Ali bin Hisamuddin Al-Hindi dan kitab Jamiul Ahadits karya Imam As-Suyuthi. Hadits di atas hanya sampai pada Umar bin Khatab dan tidak berstatus marfu’ alias mauquf (hanya sampai pada sahabat). Meski begitu, kita dapat mengambil pelajaran dalam memahami hadits diatas seperti berikut :

Secara harfiah, olaraga berkuda, berenang dan memanah adalah olahraga yang sangat baik untuk kebugaran tubuh. Sebagian menafsirkan bahwa berkuda dapat pula diartikan mampu mengendarai kendaraan (baik kendaraan darat, laut, dan udara). Berenang dapat disamakan dengan ketahanan dan kemampuan fisik yang diperlukan agar menjadi muslim yang kuat. Sedangkan memanah dapat pula diartikan dengan melatih konsentrasi dan fokus pada tujuan.

Di era modern, sebagian pakar memperluas tafsiran hadist di atas sebagai berikut : 
• Berkuda = Skill of Life, memberi keterampilan atau keahlian sebagai bekal hidup agar memiliki rasa percaya diri, jiwa kepemimpinan dan pengendalian diri yang baik.
• Berenang = Survival of Life, mendidik anak agar selalu bersemangat, tidak mudah menyerah dan tegar dalam menghadapi masalah.
• Memanah = Thingking of Life, mengajarkan anak untuk membangun kemandirian berpikir, merencanakan masa depan dan menentukan target hidupnya.

Rahman (2013) mengutip berbagai perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mengenai pendidikan anak, diantaranya sebagai berikut: 

"Jika engkau menasehati seorang anak maka jangan kau sebutkan bagian dari dosanya, agar rasa malunya tidak menjadikannya keras kepala." 
"Wajib atasmu menyayangi anakmu, melebihi kasih sayangnya terhadapmu."


Referensi :
http://www.momentumpedia.com/2015/03/Pendidikan.Anak.Versi.Ali.html
http://www.widoajiwibowo.info/2015/04/didiklah-anak-anakmu-sesuai-dengan.html
http://www.nu.or.id/post/read/80135/meninjau-kualitas-hadits-kesunahan-berkuda
(Ketiga referensi diatas menjadi sarana keilmuan dalam menambah penjelasan bagi penulis.

Post a Comment

11 Comments

  1. Terima kasih atas infonya sangat bermanfaat, ditunggu info bermanfaat selanjutnya. Jangan lupa kunjungi website kami juga ya di http://titianhaticlub.com/
    semoga sukses selalu :)

    ReplyDelete
  2. Terimakasih hal ini membuat hati saya sangat terbuka sebagai anak

    ReplyDelete
  3. Thanks infonya. Oiya ngomongin mendidik anak, miliarder kawakan Warren Buffett ternyata punya cara cerdas untuk mengajarkan anak perihal keuangan. Seperti apa caranya? Temen-temen bisa cek di sini: Tips Warren Buffett mendidik anak


    ReplyDelete
  4. Apa maksud perkataan zaman itu menurut pandangan akal mu

    ReplyDelete
    Replies
    1. tentu saja bukan ..
      zaman yang dimaksud dalam artikel ini adalah mengenai massa. Dalam kitab-kitab arab sudah menjadi kebiasaan menyebut massa dengan zaman. Perlu diketahui juga kata zaman itu memiliki banyak makna seperti massa, kurun waktu dll.

      Delete
  5. Terima ksih atas infonya. Sangat bermanfaat bagi org tua baru spt saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Samsama :) ..
      Baca juga artikel saya lainnya ya :)

      Delete
  6. artikel yang bagus gan, sangat bermanfaat...

    Absensi Online
    Solusi Sales

    ReplyDelete
  7. Barakallah, terima kasih kak semoga ilmunya dapat bermanfaat. Aamiin

    ReplyDelete
  8. Salam , untuk 3 tahap pendidikan ali bin abi thalib dari kitab apa? Terimakasih infonya.

    ReplyDelete