Oleh: A. Wafi Muhaimin
Editor : Kiki Sumber Rejeki
Sayyidina Umar
bin Khattab merupakan salah satu orang yang paling berjasa dalam menegakkan
agama islam, terutama pemikirannya yang revolusioner. Namun para pengusung
liberalisme di Indonesia seringkali menjadikan tokoh Khalifah Umar sebagai
rujukan dalam mengekspresikan ide-ide mereka sehingga “ijtihad”-nya terasa
mendapatkan legitimasi. Menurut mereka, Sayyidina Umar adalah seorang
rasionalis sejati. Ijtihad Sayyidina Umar yang selalu mempertimbangkan konteks
historis turunnya ayat dan pertimbangan kepentingan umum (al-mashlahah
al-mursalah) sangat mewarnai perjalanan kepemimpinannya.
Mashlahah dan
maqashid syari’ah yang mereka dengung-dengungkan sekilas memang tidak ada
masalah karena konsep ini adalah salah satu “pusaka” para mujtahid dalam
ber-istinbath. Namun dalam tataran praktisnya, di tangan mereka (orang-orang
liberal), pusaka ini menjadi senjata beracun yang membuat mereka berani
mengutak-atik wilayah yang sudah qath’i sehingga meracuni para pembaca.
Dengan
mengusung kaidah ushul fikih “al-ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz”
(yang menjadi pertimbangan adalah tujuan bukan lafadz) atau “jawaz naskh
al-nushus bi al-mashlahah” (bolehnya penghapusan nash-nash dengan
mashlahah), tanpa mereka sadari, sesungguhnya mereka telah membangun “Tuhan”
baru bernama “akal”. Mereka kemudian memunculkan kaidah “tanqih al nuhush bi
al-‘aql al-mujtama’. [baca Ahmad Sahal, Umar bin Khaththab dan Islam
Liberal, dalam luthfi assyaukanie (ed), wajah liberal islam di indonesia, hal:
4-5].
Kaidah ini
hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan
mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama menyangkut perkara-perkara
publik. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah
teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan
memodifikasikannya.[ Counter Legal Draft KHI, Pembaharuah Hukum Islam:
Kompilasi Hukum Islam Perempuan, dalam pendahuluan, hal: 17-18]
Padahal ada tiga unsur dalam
ushul fiqih, yaitu:
1.
ma’rifah dala’il fiqhi
(pengetahuan tentang dalil-dalil fiqih),
2.
kaifiyah al-istifadah
(metodologi penggunaan dalil),
3.
hal mustafid (kriteria
mujtahid).
Dengan
mengetahui ketiga unsur tersebut, maka kita juga akan mengetahui mana yang
termasuk ushul fiqih dan mana yang tidak termasuk.
Sedangkan
kaidah orang liberal pada umumnya cenderung melabrak atau bertentangan dengan
ayat ataupun hadits yang tidak sesuai dengan logika ataupun nalar manusia pada
umumnya serta mengenyampingkan pendapat para ulama terdahulu, sehingga hal
terebut dapat membuat mereka kurang memahami ushul fiqih dll. Hal lainnya dari
pemikir liberal umumnya merasa lebih tahu mengenai kaidah kayaknya para ulama
mujtahid, padahal secara syarat pun tidak layak disebut mujtahid.
Lalu yang menjadi pertanyaan
adalah benarkah khalifah Umar sering melabrak teks?
Satu hal yang
tidak banyak diperhatikan terhadap khalifah Umar adalah kedudukannya waktu itu.
Ketika banyak melakukan ijtihad, Khalifah Umar waktu itu berfungsi sebagai
penguasa, ini berbeda dengan Khalifah Ali yang berfungsi sebagai hakim (qadhi)
atau Ibnu Mas’ud yang berfungsi sebagai guru.
Perbedaan
fungsi itu telah melahirkan gerak ijtihad yang berbeda. Umar dalam proses
pengambilan keputusannya sering dihadapkan kepada soal-soal yang rumit dan
mendesak. Situasi perang sedang terjadi dan bergolak ketika menghadapi tentara
Romawi dan Persia.
Yang perlu
diperhatikan lagi adalah keunikan Umar dalam potensi intelektualnya. Ia
cenderung “revolusioner”, tanggap baliknya cepat dalam menyelesaikan masalah
tertentu. Kedudukan dan fungsi inilah yang sering dilupakan orang sehingga ia
sering menjadi bulan-bulanan “kambing hitam”, padahal dalam kajian-kajian fiqh
sering kita peroleh bahwa Umar merujuk kembali kepada nash. Dalam kitab
“Al-Muhalla” karya Ibnu Hazm diceritakan bahwa dalam kasus mahar dan tanah
Iraq, Umar merujuk kembali kepada nash.[ Prof. KH. Ali Yafie, “Sistem
Pengambilan Hukum oleh Aimmatu al-Madzahib” tanggapan atas tanggapan Jalaluddin
Rakhmat, dalam Abdurrahman Wahid, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia.]
Disamping itu,
Khalifah Umar sebagai penguasa tentunya tetap memegang teguh hadist nabi ”kullukum
ra’in wa kullukum mas’uluun ‘an ra’iyatihi, sehingga dengan penuh kesadaran
dan kehati-hatian, ia memperlakukan rakyatnya dengan seadil-adilnya. Bahkan
dalam gerak ijtihad-nya, ia senyatanya tidak melawan teks akan tetapi
mengamalkan teks yang lain yang dianggap lebih sesuai dengan masa dan kebutuhan
rakyatnya. Ia juga melahirkan gagasan-gagasan baru tidak semata-mata karena ia
mempunyai otoritas kebijakan. Hal ini terbukti, dalam banyak ijtihadnya ia
banyak melibatkan para sahabat dengan cara bermusyawarah.
Tidak memotong tangan pencuri
Berikut ada
sebuah kasus ijtihad khalifah Umar. Dalam “al-Syaikhan” (Bukhari Muslim),
disebutkan bahwa di akhir tahun ke delapan belas Hijriyah, masyarakat Arab di
Hijaz, Tihana dan Najd mengalami musim kemarau panjang atau masa paceklik.
Selama sembilan bulan tidak turun hujan padahal hujan menjadi sumber kehidupan
mereka. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pada masa inilah Khalifah Umar tidak
menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pencuri.
Diriwayatkan
oleh Qasim bin Abdurrahman bahwa ada seorang laki-laki yang mencuri harta
Baitul Mal, lalu Sa’ad bin Abi Waqas menulis surat kepada khalifah umar perihal
laki-laki tersebut. Umar pun membalas surat Sa’ad yang isinya pelarangan potong
tangan bagi pencuri karena ia menganggap pencuri itu mempunyai hak terhadap
harta Baitul Mal.
Bahkan Imam
Malik dalam kitab “al-Muwatta’”-nya meriwayatkan bahwa Abdullah bin Amr
al-Hadhrami datang mengadu kepada khalifah Umar perihal budaknya yang mencuri
cermin putrinya yang harganya 60 dirham, tapi jawaban khalifah Umar ketika itu,
“Lepaskanlah dia, tiada pemotongan baginya.” Dan masih banyak riwayat yang
lain.
Ada sebagian
orang yang beranggapan bahwa dalam kasus di atas, Khalifah Umar seolah menafikan
ayat tentang perintah potong tangan untuk pencuri (al-Maidah/38) padahal
ayatnya sangat jelas. Bahkan, Rasulullah pernah bersabda: ”Demi Allah,
seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad benar-benar
memotong tangannya.” Lalu pertanyaannya, benarkah Khalifah Umar menafikan nash?
Maka jawabannya sama sekali tidak benar. Karena jika kita memahami definisi
pencuri, maka orang yang mengambil harta pada tahun paceklik tidak bisa
dikatakan pencuri (saariq), karena ia mempunyai hak terhadap apa yang ia ambil.
Sebagaimana yang kita fahami bahwa yang dikatakan pencuri adalah orang yang
mengambil harta milik orang lain atau bukan haknya dengan cara
sembunyi-sembunyi.
Maka sangat
beralasan jika khalifah Umar tidak memberi sanksi dengan potong tangan kala
itu. Di samping itu, mengingat motivasi mencuri ketika itu masih syubhat,
antara mencuri dengan disengaja atau karena darurat. Maka berlakulah kaidah
umum yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Idrra’uu
al-hudud bi al-syubuhat.” (Tinggalkanlah sanksi sebab adanya syubhat). Atau
kaidah umum yang diriwayatkan Abu Daud dan Nasa’i dari Aisyah bahwa Nabi
bersabda: “Tangguhkanlah sanksi terhadap orang Islam semampumu. Jika ada jalan
keluar, maka biarkan mereka melewati jalan itu.”
Sesungguhnya
pemerintah yang salah di dalam memaafkan lebih baik dari pada salah dalam
pelaksanaan sanksi. [Muhammad Muhammad Madani, “Nadzaraat Fi Ijtihadaat
al-Faruq Umar bin Khatthab”, (bairut: darr an-nafais), hal: 70-72]
Dalam kasus di
atas dapat disimpulkan bahwa pendapat Khalifah Umar tidak melaksanakan hukuman
potong tangan karena ia meneliti subjek pelakunya yang berada dalam keadaan
darurat, yaitu kesulitan mendapatkan makanan ketika itu. Dalam kitab fiqh, Umar
juga disebutkan “Barang siapa yang mencuri dalam keadaan darurat hendaklah
meninggalkan sanksi karena terdapat perkara yang syubhat dan hendaklah
membolehkan perkara yang diharamkan karena darurat (al-dharurah tubiihu
al-mahdhuraat). (Ruwai’I bin Rajah al-Ruhaili, “Fiqh Umar Ibn Khaththab”,
Beirut; Dar al-Gharb al-Islami, 1403 h0 juz 1, hal 2915).
Oleh karena
itu, dalam kasus pencurian yang masih syubhat, Khalifah Umar mengamalkan hadits
Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan al-Maidah ayat 38. Selain itu,
sesungguhnya semangat hukuman dalam Islam adalam lebih banyak memberi ampunan
dan tidak mudah memberi hukuman. Namun tidak berarti para khalifah seperti Umar
dianggap melabrak/melawan teks al-Quran. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Kandidat Master
Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia, aktiv di Islamic Studies
Forum for Indonesian (ISFI)
Sumber : hidayatullah.com
1 Comments
Artikel yang bermanfaat, dan bagus. Boleh kunjungi juga:
ReplyDeleteProdusen Kaos Dakwah
Jual Koas Dakwah
Kaos Dakwah Quotes